Senangnya Berekreasi dalam Pulau Pari

Published on

Langit dalam Kepulauan Seribu tambah kelabu. Aku terkatung-katung dan kelelahan. Kakiku pun lemas. Olehkarena itu merasa tak dapat lebih lama lagi berada di minuman, maka aku meminta segera naik di perahu. Ough! Ketika kembali duduk menawan di perahu, trendi terasa dinginnya badanku. Sementara teman-teman yang lain masih asyik terapung, aku mencoba mengawetkan beberapa kegiatan mereka dari atas sampan sambil mengeringkan lembaga.

Setelah puas mengkaji indahnya perairan dalam sekitar pulau pari kepulauan seribu, satu persatu temanku mulai kembali ke perahu. Kupikir kami akan segera merosot ke homestay, ternyata tidak. Kami kembali diajak mengitari Pulau lainnya yang katanya tidak jauh atas tempat kami snorkeling. Pulau Tikus. Sekilas, pantai Pulau Tikus tampak tidak terlalu indah. Bukan pasir putih yang terhampar, melainkan banyak susun besar di sekelilingnya. Ditambah dengan dahan-dahan pohon tua yang tak berdaun, menciptakan Pulau Tikus terlihat agak angker. Oya, kami sempat mewujudkan beberapa bintang laut yang terdampar pada pinggir pantai. Gecul!

Saat kami tiba di Pulau Tikus, tak lama lalu datang beberapa perahu wisatawan lainnya. Sepertinya Pulau Tikus benar-benar menjadi salah satu jadwal yang wajib dikunjungi oleh para wisatawan Pulau Pari. Acara sesiangan ini sempurna menguras tenaga. Jadi marilah kita merosot ke rumah. Membasuh, beristirahat, dan bersikap untuk barbeque setelah malam. Barbeque mutakhir akan dimulai pada pukul 8 silam, tapi perut pecacal sudah keroncongan tidak karuan. Kami juga segera menjelajah Pulau dengan berjalan penumpu, berharap ada dengan menjual makanan. Sungguh! Dan kami medapati warung mi instant. Hehehe lumayanlah guna mengganjal perut. Mi instan dengan telur rebus, ditemani teh manis hangat. Menonton pukul 8 malam kami diajak menentang lokasi barbeque. Ternyata hidangan makan malam kami sudah disiapkan. Nasi putih dan ikan bakar beraneka rupa, kami makan diatas selembar tikar yang dihamparkan di atas pasir. Angin malam yang sedang kencang, sayup-sayup tolok ukur dangdut di graha penduduk, menemani abdi makan malam. Beberapa grup wisatawan dengan "berpiknik" tidak tersendiri dari kami, turun bernyanyi-nyanyi bersama dengan diiringi alunan gitar.



Waktu sudah menampakkan sekitar jam 9 malam, tapi belas kasih melewatkan malam rambang. Aku dan yang lain iseng berjalan di salah satu dermaga dengan panjang sekali. Akan rasanya sekali tengah merasakan membelah lautan. Jalan yang kulalui tidak terlalu selesai, banyak pondasi secara nyaris rubuh sehingga kami harus melompat beberapa kali. Sampai di ujung cerocok, wuuz, angin silam yang bertiup berasa lebih keras menyinggung dada. Aku dengan duduk diujung cerocok melihat laut dengan tampak kehitaman, namun demikian jernih. Hening! Sesekali hanya terdengar taklimat riak air. Laut sangat tenang & nyaris tidak ada ombak. Di kejauhan awak melihat ada kira-kira titik cahaya secara mungkin berasal mulai perahu nelayan. Semua lama aku terduduk disana, tidak meninggalkan apa-apa. Hanya memperlakukan laut yang tempo-tempo menghantam dinding cerocok di bawah kakiku. Semakin malam, angin laut semakin jahat. Jaket yang kupinjam dari temanku, siapa tahu belum cukup melindungiku.

To be informed of the latest articles, subscribe:
Comment on this post